Medan I Sumut24.co
Balon Gubsu Nikson Nababan telah mendaftar di PDI Perjuangan sebagai kontestan di Pilgubsu 2024.
Pemerhati Sosial Politik Sumatera Utara Shohibul Anshor Siregar mengatakan,
Pertama, jika Nikson Nababan adalah salah seorang di antara anak atau menantu Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia saat ini, maka nada permintaan affirmasi dukungan pencalonan tentu tidak akan begitu kuat dalam struktur kalimat pertanyaannya. Sebaliknya kemungkinan besar subjektivisme dalam pertanyaan akan lebih dititikberatkan pada upaya menyembunyikan fakta dinasti atau familiisme politik.
Tetapi mari kita berpijak pada fakta-fakta saja. Pertama, Nababan telah membuktikan dirinya mampu menjadi Bupati selama dua periode di salah satu dari 33 daerah otonom di Sumatera Utara, yakni Kabupaten Tapanuli Utara.
Kedua, seiring jabatan itu Nababan pun aktif sebagai Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan kepemimpinan dan rencana kerja yang jelas, antara lain pentargetan peningkatan persentase tertentu perolehan kursi partai pada lembaga legislatif di daerahnya. Naban bukan kader karbitan yang identik pendamba formalitas berbasis seremonial yang mengabaikan peran sentral etika dan historisme politik.
Ketiga, Nababan telah mendaftarkan diri sesuai prosedur normal untuk dipersandingkan dengan kader dan pendaftar lain yang akan menjadi salah satu faktor tertentu dalam proses penentuan figur terbaik untuk Sumatera Utara dari partainya. Ini menjadi prasyarat penting untuk membantu pimpinan pusat partai dalam menetapkan faktor-faktor popularitas dan elektabiltas figur.
Lebihlanjut Dosen Fisipol UMSU itu, Namun Nababan tidak sendirian di antara kader berbobot di dalam partainya yang menurut nalar politik publik memiliki kapasitas berimbang. Harus saya asumsikan bahwa figur seperti Ketua PDIP Sumatera Utara Rapidin Simbolon adalah kader saingan berat Nababan, selain sejumlah mantan legislator PDIP lainnya dari daerah pemilihan Sumatera Utara II seperti Trymedia Panjaitan dan para putera daerah berfiguritas kuat dalam status sebagai mantan Bupati di salah satu daerah otonom eks Kabupaten Tapanuli Utara lainnya.
Jika saya tak salah mengamati dinamika yang terjadi, PDIP kini sedang menimang pilihan politik yang mengarah kepada perkuatan oposisi yang kredibel. Atas asumsi itu maka sejumlah pengusaha asal bonapasogit (kampung halaman orang Batak) yang selama ini berdiaspora pada tingkat nasional dan global, layak untuk disertakan dalam pencatatan mekanisme radar penjaringan bakal calon Gubernur Sumatera Utara.
Ditambahkan Dieektur Nbasis itu, Dengan alasan itu figur-figur yang selama ini secara empiris dipandang tidak masuk dalam kategori pemilik potensi penerima mandat PDIP, seperti petahana Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, pasti akan sangat penting menghiasi rivalitas sengit ini karena secara nasional PDIP kemungkinan bertekad merewind peran oposisional beberapa periode sebelum era Joko Widodo yang berakhir cukup pahit buat partai berlambang moncong putih.
Menimbang Nababan dan semua figur yang dianggap potensil membawa kemenangan, PDI P akan mereview sejarah rivalitas untuk Sumut I. Moncong putih pernah mengajukan Djarot Syaiful Hidayat yang sama sekali tak dikenal di daerah tempatnya berkompetisi, dan ketika kalah berapologi diterpa politik identitas padahal dianya pun tanpa sadar sama meski merasa lebih berhak menuntut diterima sebagai korban politik identitas hanya karena secara subjektif ingin tak dikesankan sebagai tak memainkannya. Bahkan "kader berakar ke langit" ini belakangan malah merebut jatah kursi legislatif bagi kader putra daerah selama satu periode.
Efendi Muara Simbolon adalah "kader berakar ke langit" yang lain dalam tradisi panjang kegagalan yang telah membuktikan tim DPP PDIP selalu salah dalam membuat perhitungan atas resistensi lokal.
"Membuang" Ketua PDIP Sumut Rudolf Matzuoka Pardede yang seyogyanya akan berperan penting mewarnai rivalitas dalam posisi sebagai petahana, tim DPP PDIP juga pernah mencatat tragedi pemberian karpet merah kepada Tritamtomo "Panggabean" dan mengabaikan figur kuat lainnya seperti H Chairuman Harahap, mantan Kajatisu dan deputi IV Kemenkopolhukam RI. Ini menambah daftar panjang kegagalan.
Beberapa hal perlu dipikirkan serius. Pertama, ada waktu yang cukup sempit buat Nababan untuk merebut tuntas "mandat sosial" dari wilayah bonapasogit (eks Tapanuli Utara) dan daerah-daerah diaspora lainnya yang secara antropologi politik dapat dianggap beririsan dengan gagasan bonapasogit. Nababan harus segera membuat peta aktual tentang itu disusul dengan kepastian memiliki jejaring di luar partai di semua wilayah diasporik dimaksud.
Kedua, sambil memetakan, Nababan sangat penting menginventarisasi aspirasi rakyat, dengan pendekatan yang sama sekali harus berbeda dengan pola yang dikenalnya selama 10 tahun terakhir, yakni top down mechanism. Visi, misi dan program prioritasnya disusun sedemikian rupa dengan menghindari perumusan daftar keinginan elit dan pengarusutamaan quacy populism yang belakangan begitu tajam dipertanyakan terutama setelah perang terbuka PDIP dan Joko Widodo, ucapnya.
Ketiga, kredible atau tidak, lazimnya tim DPP PDIP itu juga merujuk hasil survey. Dengan pemetaan dan pembentukan jejaring di luar partai, survey objektif oleh lembaga mana pun pasti akan menghasilkan gambaran meyakinkan untuk potensi pencalonannya.
Keempat, Nababan harus mempersiapkan diri untuk menjadi Calon Gubernur atau calon Wakil Gubernur berdasarkan realitas politik yang dikonstruk bukan oleh orang-orang terdekat yang lebih ingin sukses sebagai tim. Artinya jangan memaksakan diri jika berdasarkan kajian SWOT hanya memosisikan dirinya layak untuk menjadi Calon Wakil Gubernur.
Kelima, Nababan punya urusan lain, yakni mengurai benang kusut tikai pemikiran politik tentang Provinsi Tapanuli. Itu dapat menjadi plan tambahan untuk mengatakan bahwa menjadi politisi tak pernah boleh pensiun dan perjuangan harus tanpa akhir. Red
Baca Juga:
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di
Google News